Polisi Hindia Belanda Wilayah Yogyakarta, Tahun 1923 INDONESIA, JAKARTA – Setelah zaman kerajaan berlalu, Indonesia sempat dijajah dalam kurun waktu 3,5 abad oleh Belanda. Di masa itu, tugas polisi dipercayakan kepada warga pribumi. Namun, bukan untuk menjaga keamanan negara, mereka malah ditugaskan menjaga asset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Pasukan keamanan ini terbagi atas beberapa bentuk di antaranya Veld Politie Polisi Lapangan, Stands Politia Polisi Kota, Cultur Politie Polisi Pertanian dan Bestuur Politie Polisi Pamong Praja. Namun, saat itu warga pribumi cuma menjadi bagian dari anggota keamanan dan tak bisa menempati posisi tinggi seperti Hood Agent Bintara, Inspekteur van politie dan komisaris van Cuma diperkenankan menjadi mantra polisi, asisten wedana dan wedana polisi. Misalkan era pemerintahan Herman Willem Daendels, Tegal adalah pemasok beras untuk kawasan timur nusantara. Untuk mengamankan wilayah ini, Daendels membentuk kesatuan berkuda yang diberi nama Jayengsekar. Dalam Kamus Sansekerta Indonesia, Jayengsekar berarti nama kesatuan prajurit kraton. Baca Juga Ketika Moehammad Jasin dan Korps Polisi Ikut Angkat Senjata dalam Pertempuran Surabaya Personil Jayesengkar diambil dari kalangan anak-anak elit pribumi yang tak tertampung dalam birokrasi kolonial. Mereka mendapat pelatihan militer maupun seragam khusus dan berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik kabupaten. Sementara di ibukota keresidenan provinsi, mereka di bawah kendali pejabat kulit putih. Jumlah prajuritnya berkisar dari 50-100 orang, tergantung luas wilayahnya. Gaji mereka dibayar dengan petak sawah di tempat mereka bertugas. Merujuk pada pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808, Djoko Marihandono mencatat bahwa sejumlah pasukan Jayengsekar di berbagai prefektur. Untuk wilayah Tegal dibentuk 80 pasukan Jayengsekar dengan kekuatan 80 prajurit; Pekalongan 50 prajurit; Semarang 100 prajurit; Jepara 100 prajurit; Rembang 50 prajurit; Gresik 50 prajurit; Surabaya 80 prajurit; Pasuruan 100 prajurit; Sumenep 100 prajurit. Selama tiga tahun memerintah Jawa, Daendels melaporkan kepada kaisar Prancis Napoleon Bonaparte bahwa dirinya telah merekrut sebanyak pasukan Jayengsekar. Sepeninggalan dia, Jayengsekar masih bertahan hingga 1874. Setelah Jayengsekar, muncullah polisi kolonial. Kesatuan ini dibentuk pada tahun 1897. Tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban, tapi kemudian meluas ke urusan politik hingga moral. Maka dibentuk pula unit khusus polisi susila untuk memberantas pelacuran, perdagangan perempuan dan homoseksualitas. Contohnya pada tahun 1930-an polisi menangkap orang-orang yang diduga homoseksual, tak peduli orang Eropa atau pejabat tinggi pemerintah yang melakukan hubungan seksual dengan anak lelaki di bawah umur di bawah 21 tahun. Warga Pribumi Diberi Jabatan pada Masa Penjajahan Jepang Saat Jepang menguasai Nusantara, kepolisian dibagi-bagi berdasarkan wilayah yaitu Sumatera dan Jawa, masing-masing dibawah Angkatan Darat, Kalimantan dan Indonesia Timur di bawah Angkatan Laut. Jepang membentuk Pembela Tanah Air PETA di Jawa, Giyugun di Sumatera, terdapat pula Heiho yang diintegrasikan ke dalam pasukan Jepang. Pemuda-pemuda dihimpun dalam Seinendan dan Keibodan. Serta Fujinkai khusus untuk wanita. Pada masa pendudukan Jepang, hanya ada satu bentuk kepolisian, yaitu Keisatsutai Polisi. Untuk wilayah Jawa dan Madura berpusat di Jakarta. Lalu Kepolisian Sumatera berpusat di Bukittinggi. Sementara Kepolisian Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang pusatnya ada di Banjarmasin. Baca Juga Torehan Jasa Brimob untuk Indonesia Berbeda dengan zaman Belanda yang hanya mengizinkan jabatan tinggi diisi oleh orang-orang mereka, saat di bawah Jepang, kepolisian dipimpin oleh warga Indonesia. Akan tetapi, meski menjadi pemimpin, orang pribumi masih didampingi pejabat Jepang yang pada praktiknya lebih memegang kuasa. Masa Awal Kemerdekaan, dari PRI Menuju Polri Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, polisi bentukan Jepang seperti PETA dan Gyu-Gun dibubarkan. 4 hari setelah Indonesia merdeka, para mantan kesatuan polisi bentukan Jepang mengambil sikap untuk siap berjuang mempertahankan kemerdekaan dan menamakan diri Polisi Republik Indonesia PRI. Selanjutnya, pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menetapkan dan melantik Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara KKN. Kala itu, kepolisian masih ada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara untuk urusan administrasi. Akan tetapi pertanggungjawaban operasional dilakukan kepada Jaksa Agung. Setelah itu, PRI mulai terlibat dalam sejumlah pertempuran. Seperti menyerang dan merampas senjata-senjata Jepang hingga menghadapi pasukan Inggris dan Belanda di Tanjung Perak. Mereka juga terlibat dalam insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, sekaligus mendukung dan mempelopori pertempuran Surabaya. Namun, sejak terbitnya Perpres Nomor 11 Tahun 1946, kepolisian negara bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. Sejak hingga hari ini, Polri telah merayakan Hari Bhayangkara yang ke-73.PolisiZaman Hindia Belanda di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
NilaiJawabanSoal/Petunjuk MARSOSE Korps polisi militer pada masa pemerintahan Hindia Belanda GUBERNEMEN Pemerintahan dalam masa penjajahan Belanda SEKAUT Kepala polisi masa penjajahan Belanda WEDANA Pembantu bupati pada masa Hindia Belanda HAMINTE Pemerintahan kotapraja pada masa pendudukan Belanda KERJAPAKSA Ciri khas pemerintahan pada masa penjajahan belanda DEMANG Kepala distrik, wedana pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda BORNEO Nama lain pulau Kalimantan, digunakan saat zaman pemerintahan Hindia Belanda PM Polisi Militer MARINYO Polisi militer PRAJA Pangreh ... birokrasi pelaksana pada masa pemerintahan kolonial Belanda di daerah KST Korps Speciale Troepen kesatuan pasukan khusus Belanda di masa Revolusi Nasional Indonesia SWAPRAJA Istilah pada masa kolonial Belanda untuk wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri GENDARMERI 1 pasukan polisi militer; 2 korps polisi militer; 3 asrama korps polisi militer PANGREHPRAJA Penguasa di suatu daerah pd masa pemerintahan kolonial Belanda yang diangkat oleh Belanda INLANDER Sebutan bagi penduduk asli di kepulauan Nusantara Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pd masa penjajahan Belanda innalillahi wa innailaihiroji... ASISTEN Orang yang membantu; pembantu dalam suatu pekerjaan; - ahli pangkat atau jabatan setingkat di bawah lektor rnuda dalam perguruan tinggi; - apot... POLISI 1 badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum serta menangkap orang yang anggota badan pemerintah pegawai negara yang ber... PERINTAH 1 perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; sesuatu yang harus dilakukan atas - sang pangeran, beberapa pelayan datang; atas -, dengan pe... AKTIF Fis daerah tempat terjadinya penguatan penyearahan, pancaran cahaya atau peristiwa dinamik yang lain pada suatu peranti semipenghantar; - aliran sun... KNIL Tentara Hindia Belanda AKSIPOLISIONIL Agresi militer belanda SEN Koin masa kolonial belanda PESER Koin masa kolonial belanda KETIP Koin masa kolonial belanda
Risetyang didanai pemerintah Belanda, "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950", sejak peluncurannya diselimuti pro dan kontra, tak terkecuali tema-tema yang
Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka. Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal jaksa agung. Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie polisi lapangan , stands politie polisi kota, cultur politie polisi pertanian, bestuurs politie polisi pamong praja, dan lain-lain.KampanyeHindia Belanda adalah upaya Sekutu untuk mempertahankan Hindia Belanda dari Jepang selama Perang Dunia II, terutama pada periode tahun 1941 sampai dengan tahun 1942.Sumber minyak bumi Hindia Belanda yang kaya menjadi tujuan utama Jepang selama perang. Kampanye ini menyebabkan pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun dan berakhirnya penjajahan Belanda di wilayah Nusantara.
- Sejarah perkembangan organisasi kepolisian di Indonesia dapat dirunut hingga awal abad ke-19. Kala itu, kolonialisme Belanda di Pulau Jawa memasuki era baru. Bangkrutnya VOC pada 1799 dan kemudian berdirinya Hindia Belanda menyebabkan sistem administrasi dan birokrasi pemerintahan koloni perlu diatur ulang. Negara kolonial kini diatur dengan prinsip pemerintahan tidak langsung oleh Binnenlandsch Bestuur BB. Secara struktural, otoritas tertinggi BB dipegang oleh seorang gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di tanah koloni. Birokrat BB menjangkau rakyat pribumi melalui sistem Pangreh Praja atau Inlandsch Bestuur. Secara formal, kedua sistem ini berjalan sejajar. Sejarawan Onghokham menyebut, birokrat-birokrat di kedua sistem ini berelasi laiknya “kakak-adik”. Para pejabat BB, si kakak, bertugas mengurus segala kepentingan kolonial, seperti urusan perdagangan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sementara itu, birokrat Pangreh Praja bertugas di bawah arahan para tuan tanah maupun penguasa lokal di wilayahnya. “Selama pelaksanaan sistem ini, pejabat lokal Belanda bertanggung jawab untuk berkonsultasi dengan priayi setempat guna memutuskan apa yang harus ditanam, di mana, dan bagaimana, serta bagaimana kelanjutannya,” tulis Onghokham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah 2018, hlm. 104. Sistem pemerintahan dualistik ini juga berlaku untuk urusan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di koloni. Baik BB maupun Pangreh Praja memiliki lembaga kepolisian yang terpisah. Dualisme organisasi kepolisian ini dikukuhkan dalam Politiereglementen Peraturan Kepolisian yang dikukuhkan pada 1816—setelah Hindia Belanda dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. “Beranjak dari peraturan tersebut, tanggung jawab atas pemeliharaan keamanan masyarakat bumiputra berada di tangan pangreh praja. Adapun pemerintahan Eropa bertanggung jawab atas urusan pemeliharaan keamanan masyarakat Eropa,” tulis sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda 2011, hlm. 9.Organisasi Kepolisian yang Tidak Efektif Kepolisian untuk melayani masyarakat Eropa berada di bawah pengawasan jaksa agung dari Pengadilan Tinggi Hindia Belanda. Sementara itu, kepolisian bumiputra terstruktur mengikuti pembagian karesidenan dan diawasi oleh residen. Meski begitu, kerja harian kepolisian bumiputra diatur oleh jajaran Pangreh Praja—mulai bupati, wedana, asisten wedana, hingga kepala desa. Sejak itu, muncullah berbagai satuan polisi dengan tugas dan ruang gerak yang spesifik. Ada polisi kota stadspolitie, polisi desa desapolitie, opas polisi politieoppasser, polisi perkebunan cultuurpolitie, hingga polisi pangreh praja bestuurspolitie. Menurut Bloembergen, inti pemeliharaan keamanan masyarakat kolonial terletak di desa. Karena itulah, kepala desa pada pertengahan abad ke-19 dibebani tanggung jawab sebagai pemimpin kepolisian desa. Jangan bayangkan polisi desa sebagai petugas-petugas berseragam, dengan pangkat di pundak, dan menjalankan tugas-tugas resmi. Mereka pada dasarnya adalah semua warga lelaki dewasa di desa yang menjalankan tugas menjaga keamanan secara bergiliran. Mereka punya jadwal ronda dan ditempatkan di pos-pos tertentu dalam desa atau di sepanjang jalan antardesa. “Ronda dan jaga di gardu yang dijalankan oleh warga masyarakat tanpa upah dan pelaksanaannya sangat bergantung pada kepemimpinan lokal, kiranya, bukan jaminan bagi pemeliharaan keamanan yang efektif,” tulis Bloembergen hlm. 13. Para polisi desa ini bekerja tanpa motivasi karena mereka tidak digaji. Menjadi polisi desa adalah pekerjaan sambil lalu di samping pekerjaan utama sebagai petani. Lagi pula, tidak ada ganjaran apa pun mana kala mereka melakukan suatu prestasi—misalnya, berhasil menangkap maling. Pun demikian, pada pertengahan abad ke-19, tugas menjaga keamanan lazim pula diserahkan kepada para jago bayaran. Hal ini terjadi baik di kalangan bumiputra maupun komunitas Eropa. Salah satu contohnya pernah tercatat pada 1867, ketika sekelompok orang Eropa tajir di Semarang menyewa 78 jago untuk menjaga keamanan komunitas dan hartanya. Pada intinya, pada saat itu, boleh dikatakan Hindia Belanda belum memiliki organisasi kepolisian yang modern dan profesional. Tangkap Maling dengan Maling Jasa para jago juga banyak dimanfaatkan oleh Pangreh Praja untuk menjadi polisi informal di suatu wilayah. Dalam praktiknya, tugas mereka berkembang dari urusan keamanan wilayah hingga soal pengamanan pribadi seorang pejabat atau priayi. Di titik inilah berlaku sebuah adagium yang sudah berkembang sejak lama dalam masyarakat Jawa tradisional menangkap maling dengan maling. Sebelum era kolonial, para jago atau kelompok bandit lazim mengorbit pada seorang raja atau bangsawan. Mereka biasa bertindak sebagai tukang pukul ketika terjadi konflik antarbangsawan. Mereka juga biasa dimanfaatkan sebagai mata-mata, penarik pajak, atau pengawas pekerja. Soemarsaid Moertono dalam Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau 1985 menyebut, penguasa Jawa tradisional juga lazim mengangkat pentolan bandit atau jago yang kuat sebagai pejabat daerah. Ada kalanya lurah suatu desa adalah mantan bandit yang tobat dan diserahi tanggung jawab menjaga keamanan desa. Seturut Onghokham, praktik ini rupanya berjalan terus hingga era kolonial abad ke-19. Bupati Madiun Brotodiningrat 1887-1900, misalnya, memiliki jaringan polisi dan mata-mata yang terdiri dari para bandit yang disebut weri. “Pada akhir abad ke-19, dalam konteks keamanan dan ketertiban’, para jago dipekerjakan sebagai mata-mata para priayi, memberikan informasi tentang apa yang terjadi di pedesaan dan mencari para pelanggar hukum. […] Banyak dari jago-jago ini yang memiliki jabatan, seperti kepala desa atau terutama sebagai polisi desa yang tidak digaji,” tulis Onghokham hlm. 265-266. Relasi ini membuat loyalitas para polisi desa itu tidak terletak pada tugas menjaga keamanan, melainkan pada para pemimpin yang jadi patronnya. Infografik Polisi Kolonial. Reorganisasi Kepolisian Kolonial Setelah pemberontakan petani pecah di Banten pada 1888, Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu melakukan reorganisasi kepolisian kolonial. Reorganisasi ini juga dilakukan untuk merespons meningkatnya kecemasan penduduk Eropa di Hindia Belanda terhadap bumiputra. Seturut Bloembergen, kecemasan itu berakar dari prasangka rasis orang Eropa, “Yang merasa terkurung dan terancam oleh masyarakat bumiputra yang tampak sangat asing dan menakutkan bagi mereka.” Beberapa aspek yang menjadi fokus reorganisasi di antaranya perluasan personel, perbaikan skala gaji, hingga soal kepemimpinan dan pengawasan. Pada 1870-an, muncul pula rekomendasi untuk membentuk korps kepolisian bersenjata. Korps baru ini direncanakan punya tugas khusus untuk menghentikan kerusuhan. “Beranjak dari sejumlah nota dari tahun-tahun yang lalu, Direktur Dalam Negeri Arends merancang suatu proposal yang menjadi landasan reorganisasi 1897,” tulis Bloembergen. Pada Maret 1897, Pemerintah Kolonial memulai sebuah proyek reorganisasi kepolisian. Dimulai dengan pembedaan antara opas polisi dan opas kantor. Para opas polisi ini pun kini berseragam. Jumlah personel polisi pun ditambah dan, sesuai rekomendasi beberapa residen, dibentuklah satuan polisi bersenjata. Meski begitu, pada periode awal reorganisasi, ada perbedaan jabatan antara pribumi dan Eropa di dalam satuan kepolisian. Sebagai gambaran, pribumi tidak diperkenankan menjabat sebagai hoofd agent bintara, inspecteur van politie dan commisaris van politie. Pemerintah Hindia Belanda juga menciptakan jabatan-jabatan khusus bagi polisi pribumi yaitu mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Reorganisasi 1897 pun bukan yang terakhir. Kepolisian Kolonial Hindia Belanda masih melakukan beberapa kali reorganisasi hingga 1920. - Sosial Budaya Penulis Tyson TirtaEditor Fadrik Aziz Firdausi Sistemkami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS korps polisi militer pada masa hindia belanda. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS (Teka Teki Silang) populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Dualismeorganisasi kepolisian ini dikukuhkan dalam Politiereglementen Ix5IvB.